Jumat, 11 Desember 2015

Sejarah Perkembangan Program KB Nasional



Sejarah Perkembangan Program KB Nasional

Upaya pengaturan kehamilan/kelahiran telah lama dikenal hampir lebih 100 tahun yang lalu. Pengaturan kehamilan telah dirintis oleh Margaret Sanger seorang perawat kandungan di New York pada 1883-1966 yang karena perjuangannya Margaret Sanger disebut sebagai Ibu KB Internasional.
Pelaksanaan Program KB merupakan proses yang panjang dan memerlukan perjuangan dan pengorbanan baik moril, maupun materiil karena pelaksanaan dimulai dari belum diterimanya pengaturan kehamilan oleh banyak kalangan. Secara kronologis rangkaian perjuangan pengembangan sosialisasi penerangan program KB sebagai berikut :
1992    : Anggota Gerakan Birth Control Amerika
1913    : Belajar di Eropa
1914    : “The Women Rebel”
1914    : “Family Limitation”
1916    : Klinik Birth Control, Brooklyn, New York
1921    : American Birth Control League
1952    : International Planned Parenthood Federation (IPPF)
Yang mendasari pemikiran pelaksanaan program KB pada saat itu sangan sederhana, pengaturan kehamilan didasari oleh banyak kasus Kematian pada ibu saat melahirkan. Dibawah ini beberapa yang mendasari pelaksanaan program KB:
1.    Banyaknya kehamilan yang tak diinginkan
2.    Tidak tersedianya cara/alat pengaturan kehamilan
3.    Pada waktu itu pengaturan kehamilan bertentangan perundang-undangan yang berlaku.
Bagaimana perkembangan KB di Indonesia?
Di Indonesia program KB dikenalkan pada Tahun 1950, pada saat itu KB merupakan kegiatan Dokter secara perorangan di Jogjakarta, Semarang, Surabaya, Jakarta dan Bandung. Pemerintah dan masyarakat tidak mendukung kegiatan KB.
Pada tahun 1957 secara kelembagaan melalui berdiri Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) yang didirikan  dan ketuanya Dr. R. Soeharto. Saat itu KB merupakan usaha untuk mensejahterakan keluarga melalui pengaturan kehamilan dengan cara-cara yang dapat diterima oleh mereka yang melaksanakannya.
Sejalan dengan perkembangan masalah kependudukan yang terjadi secara internasional, tahun 1967 Indonesia menandatangani Deklarasi Kependudukan Dunia, Indonesia merupakan negara mendukung pelaksanaan Program KB, sehingga setelah itu dibentuk Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) melalui SK Menteri Kesejahteraan Rakyat.
Perkembangan program KB makin dibutuhkan sehingga pada tahun 1968 program KB dicanangkan sebagai Program Nasional sedangkan kelembagaan KB (LKBN) dirubah menjadi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dibentuk melalui Keppres 8/1970.
Untuk memperkuat kelembagaan pengelola KB tahun 1970 Pembentukan BKKBN dimulai diwilayah Jawa-Bali (1970) kemudian pada tahun 1974 dikembangkan pembentukan BKKBN LJB I dan BKKBN LJB II tahun 1979.
Pelaksanaan Program KB selama ini selalu mengacu kepada kebijakan yang telah ditetapkan dengan mempertimbangkan perkembangan paradigma baik secara nasional, regional maupun internasional. Paradigma program KB yang pada awalnya menekankan pada aspek demografis pada perkembangan selanjutnya berubah.
Perubahan paradigma ini lebih dipengaruhi oleh berbagai kesepakatan mengenai masalah-masalah kependudukan serta perubahan sistem pemerintahan di Indonesia antara lain:
1.    Kesepakatan dalam Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on Population and Development) di Kairo tahun 1994.
2.    Desentralisasi, yang melimpahkan sebagian kewenangan di bidang Keluarga Berencana kepada pemerintah Kabupaten dan Kota.
Dalam uraian berikut akan dijelaskan tentang perkembangan program KB sebelum dan sesudah ICPD serta setelah era desentralisasi.
Program KB di Indonesia sebelum dan sesudah ICPD tahun 1994 mengalami perubahan secara nyata melalui dari perubahan pendekatan program sampai kepada pelaksanaan di tingkat lini lapangan.
a.    Sebelum ICPD 1994
Sebelum kesepakatan ICPD tersebut, yaitu  pada kurun waktu tahun 70-an sampai 90-an awal, program KB sangat menekankan pada aspek demografis yaitu pengendalian angka kelahiran. Hal ini menjadi dasar pelaksanaan program di lapangan yang menekankan kepada pencapainan peserta KB yang terus meningkat dengan berbagai upaya melalui dari komunikasi, informasi dan Edukasi (KIE)/penyuluhan, penggerakan masyarakat sampai pelayanan dan pembinaan. Meskipun dilakukan dengan perencanaan yang baik antar semua sektor, upaya untuk memperoleh peserta KB ini sering kali dianggap oleh sebagian orang dilakukan dengan penuh pemaksaan. Atau melanggar hak asasi manusia. Pelaksanaan safari KB pada masa lalu misalnya sering dianggap massal sehingga tidak memperhatikan persyaratan pelayanan yang benar seperti KIP/Konseling serta penapisan yang kurang tepat.
Contoh lain pemakaian kontrasepsi yang diarahkan kepada satu jenis alat/metode kontrasepsi tertentu, seperti adanya istilah Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP)
Selain daripada itu pada kurun waktu tersebut masalah kesehatan reproduksi dari seksual belum mendapatkan perhatian bahkan oleh sebagian orang dianggap tabu dibicarakan. Penanganan kesehatan reproduksi ICPD 1994 belum secara tegas mencakup pelayanan kesehatan pada seluruh siklus kehidupan manusia yang terintegrasi dalam pelayanan KB dan pelayanan kesehatan lainnya.
Dalam upaya Peningkatan Pendapatan Keluarga (UPPKS), kelompok yang dibentuk terdiri dari kaum perempuan saja karena program ini memang diarahkan untuk mengembangkan potensi kaum perempuan ke arah peningkatan ekonomi produktif. Perempuan diharapkan mempunyai kemampuan yang dapat diandalkan melalui dari hanya sekedar bersosialisasi di luar lingkungan keluarga sampai kepada mencari relasi untuk pemasaran produknya. Kemampuan seperti ini yang diharapkan dapat meningkatkan keterpurukan posisi perempuan dalam keluarga.
b.    Sesudah ICPD 1994
Pasca ICPD 1994 setiap negara mengadopsi hasil kesepakatan konferensi tersebut dalam kebijakan dan pelaksanaan programnya. Tidak terkecuali di Indonesia, paradigma program KB bergeser dari pendekatan kesehatan reproduksi, kesehatan gender dan pemberdayaan perempuan.
Khusus dalam pelayanan KB, pelayanan tidak hanya di tunjukan untuk penurunan angka kelahiran semata namun dikaitkan pula dalam tujuan untuk:
1.    Pemenuhan hak-hak reproduksi
2.    Promosi, pencegahan dan penanganan masalah-masalah kesehatan reproduksi dan seksual.
3.    Kesehatan dan kesejahteraan ibu bayi dan anak.
Dengan demikian program pelayanan KB dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari persoalan kesehatan reproduksi lainnya seperti Kematian maternal dan neonatal, kesehatan dan kehidupan seksual, maupun epidemik HIV/AIDS serta masalah-masalah kehidupan seksual dan reproduksi remaja.
Kesehatan Reproduksi Remaja perlu dibahas secara terbuka dan jelas antara orang tua dan anak remajanya serta tidak lagi dianggap tabu sehingga remaja mencari informasi di antara teman remaja lainnya. Untuk itu orang tua sangat penting memahami secara tepat tentang kesehatan reproduksi remaja yang dapat diperoleh dari berbagai sumber informasi yang tepat pula. Salah satu yang telah di kembangkan antara lain melalui Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK – Remaja) Serta Keluarga Peduli Remaja. Pemahaman yang kurang tepat di kalangan remaja sering menyebabkan terjadinya salah gaul di antara remaja antara lain dengan terjadinya seks bebas dan kehamilan pra-nikah.
Dalam peningkatan kualitas keluarga, Program KB Nasional memperhatikan pentingnya diupayakan berbagai program dan kegiatan yang memperhatikan pemberdayaan perempuan serta terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender. Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) selain merupakan contoh upaya pemberdayaan perempuan juga diarahkan sebagai upaya untuk mendorong terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender antara perempuan dan laki-laki dalam keluarga dan masyarakat. Perempuan bukan lagi hanya penunggu rumah, atau tidak hanya identik dengan ranah domestik seputar rumah saja, tetapi juga mempunyai kemampuan dan peran yang dapat diandalkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Demikian halnya dalam pengasuhan anak dan bimbingan bagi remaja, upaya kesertaan gender penting diperhatikan. Anak dan remaja bukan semata tanggung jawab dan urusan ibu  melainkan merupakan tanggung jawab bersama bapa dan ibu. Selain itu peluang dan kesempatan yang sama perlu diberikan kepada anak laki-laki dan perempuan dalam pendidikan dan sosialisasi.

Pemahaman terhadap seimbangnya peran dan tanggung jawab antara suami  dan istri dalam keluarga serta pentingnya perlakuan yang sama antara anak laki-lai dan perempuan inilah yang selalu diupayakan melalui berbagai kegiatan KIE selama ini. Tanggung jawab laki-laki dalam keluarga berencana juga menjadi perhatian khusus karena masih sangat rendahnya partisipasi sebagai peserta KB.

0 komentar:

Posting Komentar